Irwan Hidayat,PT Jamu Sido Muncul
Kompas 16-10-2005
Irwan Hidayat dan industri jamu ,
Pemilik Jamu Sido Muncul ,
Kompas 12-4-2001
Irwan Hidayat dan Industri Jamu
Oleh: Windoro Adi
Kompas 12 April 2001
Disadur: Purnomo Iman Santoso
“Dari 28 tahun karier saya,tiga perempat bagian diantaranya saya lalui dengan kesalahan,”kata Irwan Hidayat(53),bos Jamu Sido Muncul yang baru-baru ini “mau” menerima penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia(Kehati).
Dia mengungkapkan hal itu setahun lalu,di salah satu sudut Kota Semarang,Jawa Tengah,di suatu malam di Jalan Mataram, di warung kaki lima “Es Marem”.Sang istri,Maria Shinta Eko Putri Sudjarwo,sibuk memesan minuman kegemaran suami:es campur tape,kelapa muda,kolang-kaling,kacang,dan coklat.
Di tempat-tempat sederhana seperti inilah Irwan biasa berbincang-bincang dengan keluarga,kawan kerja,atau kawan bermainnya.”Dulu saya bisa berjam-jam duduk-duduk di tempat seperti ini dari pukul 20.00.Sekarang paling Cuma sampai pukul 23.00,” jelas pria kelahiran Yogyakarta,23 April 1947.
Bagi Irwan,di tempat-tempat seperti itulah dia bebas berbuka hati dan berkeluh kesah dengan anggota keluarga atau kawan-kawannya.Bukan Cuma itu,”Di tempat-tempat seperti inilah lahir banyak gagasan atau masukkan baik dari kawan-kawan,keluarga,atau dari saya sendiri yang di kemudian hari ternyata membuat hidup kami menjadi jauh lebih baik,” tutur salah satu Ketua Gabungan Pengusaha Jamu itu.
Gagasan tentang pendirian pabrik bahan baku jamu dan pabrik jamu,gagasan tentang berbagai kegiatan,tentang terobosan di industri jamu,tentang bus-bus mudik gratis buat para penjual jamu di Jakarta,tentang masa depan Indonesia ala para bakul jamu… semua lahir di tempat-tempat sederhana seperti ini.
Awalnya,putra mendiang pendiri Jamu Sido Muncul,Ny Rahmad Sulistio ini,terlibat dalam industri rumah tangga jamu neneknya karena terpaksa.”Lulus SMA nggak punya pekerjaan.Ya sudah,numbuk jamu saja tiap hari.Rasanya bosan,ingin cepat meninggalkan pekerjaan itu ,”jelas jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.
Dia tidak pernah menyangka industri jamunya akan menjadi besar,bahkan ketika tahun 1969 ayah dua anak ini jadi bulan-bulanan penyakit.Dua pekan sembuh dari tifus,terjangkit lagi dan terkapar di Rumah sakit(RS) Elizabeth,Semarang,selama 14 bulan.
Berat badannya tinggal 32 kilogram,dan masih harus melanjutkan istirahat di RS Telaga Reja,Semarang.Demamnya tinggi,disusul infeksi paru-paru,ginjal,darah tinggi, dan kencing manis.
“Delapan bulan terbaring di RS Telaga Reja membuat saya trauma melihat RS atau mendengar orang-orang membicarakan penyakit.Tetapi,penderitaan inilah yang membuat saya berhenti merokok,”ujar Irwan yang dulu setiap harinya menghabiskan enam bungkus rokok kretek itu.
Setelah rangkaian sakitnya sembuh,hidupnya menjadi kain dekat dengan orang-orang desa.Sikapnya pun menjadi lebih bijak menanggapi banyak pengalaman.Tahun 1974 misalnya,perusahaan Sido Muncul terbelit utang,sementara penjualan surut.Pada saat-saat sulit seperti itulah ibunya justru setia bekerja keras dan berdoa mendampingi anak-anaknya mengelola perusahaan.Ketika hal serupa terjadi lagi tahun 1988,sang ibu kembali berbuat sama.
Satu saat,Irwan dan saudara-saudaranya mendesak ibunya beristirahat dan tidak lagi bekerja.tetapi jawaban sang ibu,”Yo wis,yen aku wis ora mbok butuhake,urusana kana.( Ya sudah,kalau aku tidak kalian butuhkan lagi,silakan urus perusahaan ini).”
Setelah diistirahatkan,kondisi fisik dan psikis ibunya merosot drastis.Irwan dan saudara-saudaranya pun buru-buru melibatkan ibunya lagi dalam perusahaan.
“Saya baru sadar,ternyata orang menjadi sangat miskin ketika merasa tidak dicintai lagi,tidak dibutuhkan lagi,tidak berarti lagi.Ternyata niat baik kami salah.Pengalaman ini yang membuat saya berani mengatakan,saya bisa meniti karier saya ke puncak bukan karena saya pintar,tetapi karena saya mempunyai ibu yang baik,terutama pada saat sulit,”tutur Irwan.
Pengalaman kehadiran ibunya pada saat-saat sulit membuat Irwan menetapkan kepada seluruh pengelola perusahaannya bahwa “kehadiran pemimpin di saat-saat sulit,wajib hukumnya”.”Selain itu,setiap pemimpin di perusahaan kami harus selalu mampu memberi kontribusi terbanyak,solusi terbanyak,menjadi tempat orang banyak bertanya,dan terlibat lebih banyak,” katanya.
Dia mengatakan,di perusahaannya,untuk menjadi pemimpin,seseorang tak harus meniti jenjang karier ala pegawai negeri.”kalau ada orang baru di perusahaan yang bisa menunjukkan kelima hal tadi ,dia bisa saja lompat jabatan meninggalkan seniornya,” ucap Irwan.
Dengan pola kepemimpinan seperti itulah Irwan dan saudara-saudaranya mengibarkan bendera perusahaannya pada dekade 1990-an.”Saya akui,tahun 1960-an adalah milik Jamu Jago,tahun 1970-1980-an milik Jamu Air Mancur,dan tahun 1990-an lalu saya kira menjadi milik Jamu Sido Muncul.Entah tahun 2000-an ini,”ujarnya.
Meski demikian dia belum puas dengan industri jamu saat ini.Menurut dia,dibandingkan industri farmasi,industri jamu masih jauh tertinggal.Perhatian pemerintah pun masih minim dibanding misalnya perhatian terhadap industri batik.”Kalau kemeja batik bisa dipakai para pemimpin Negara,mengapa pemerintah tidak mencoba misalnya menjadikan jamu sebagai minumaan kenegaraan?”tuturnya.
Irwan memperkirakan ,bila kondisi industri jamu masih seperti sekarang,bukan hal yang mustahil bila 10 tahun lagi industri jamu lenyap dari Tanah Air.
“Bayangkan,kalau industri farmasi punya jaringan pabrik bahan baku,pendidikan formal,rumah sakit,pabrik farmasi,distribusi sampai pengecer atau apotek,maka industri jamu mengelola semuanya itu sendiri.Itu kita belum menghitung soal modal.Kalau industri farmasi bisa sangat besar modalnya karena adanya modal asing,industri jamu tidak,”ujarnya.
“Sekarang industri jamu bukan saja menghadapi banyak kendala dan kurangnya dukungan pemerintah,tetapi juga semakin gencarnya produk industri farmasi yang masuk ke pasar produk industri jamu,” lanjutnya
Irwan mengatakan ,industri jamu di Indonesia masih kurang dukungan tenaga paramedis terutama dokter dan farmakolog.Padahal di Cina,setahun setelah seseorang menamatkan kuliah kedokterannya,mereka masih harus mengikuti praktik PENGOBATAN ALTERNATIF.Jadi tak heran bila banyak dokter di Cina menawarkan pengobatan alternatif selain pengobatan cara Barat.
IRWAN sangat yakin bahwa industri jamu secara ekonomis efektif untuk meredam pengangguran di kalangan masyarakat menengah ke bawah,sementara di sisi lain bisa menghemat devisa Negara dibanding produk farmasi Barat.”Saya jamin produk jamu legal secara medis pun bisa dipertanggungjawabkan,”tandasnya.
“Saya ingin mendirikan klinik pengobatan terpadu di lokasi pabrik ini .Di tempat ini pula saya masih bermimpi membangun perpustakaan umum yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan jamu,tusuk jarum,pijat,dan self meditation,’ jelasnya.
Dia mengingatkan ,hanya lewat kemajuan industri jamulah bangsa Indonesia bisa meredam praktik pengobatan mahal yang konsumtif dan manipulatif.”Saya percaya ,hanya sedikit orang yang tahu bahwa daun alang-alang bisa menjadi obat buang air kecil,menghambat agregasi trombosit sehingga melancarkan aliran darah.Kalau banyak orang tahu kegunaan daun alang-alang dan bisa mengolahnya,mengapa orang harus menguras kantung untuk membeli obat mahal?Coba kalau mereka bisa berhemat lebih banyak,kan uangnya bisa untuk membangun sekolah?” tutur pria yang cukup minum jamu tolak angin produk perusahaannya sendiri ketika masuk angin itu.